Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2013, Dipandang Tidak Adil Bagi Pengusaha Kecil

20 Feb 2014
CU PANCUR KASIH
UNCATEGORIZED

Diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sejak 1 juli 2013 membuat UMKM-UMKM di Indonesia merasa dirugikan. Mereka memandang PP ini tidak adil terutama bagi pengusaha kecil. PP ini mengatur wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tidak lebih dari 4,8 miliar untuk membayar PPh final sebesar 1% dari omzet bulanan.

Dengan tarif PPh Badan yang berlaku saat ini yaitu 25 persen, maka bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang memenuhi syarat, tarif efektifnya menjadi 12,5 persen atas penghasilan sampai dengan Rp.4,8 miliar. Pengenaan PPh dalam hal ini dilakukan terhadap penghasilan kena pajak yang dihitung dari perhitungan laba-rugi akuntansi (pembukuan) setelah dilakukan koreksi fiskal, karena berdasarkan pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP), Wajib Pajak badan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.

Meski pemberlakuan ini tidak secara eksplisit tersirat dalam PP 46 tahun 2013 yang menjadi target pemajakan dalam ketentuan perpajakan baru ini adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). UMKM menjadi fokus atau target pemajakan dalam PP  sejak pertengahan tahun 2011 ini karena saat itu UMKM menyumbang 61% dari produk domestic bruto tetapi kontribusinya terhadap total penerimaan pajak hanya 5 %. Oleh karena itu kuat dugaan bahwa terbitnya PP 46 tahun 2013 adalah karena potensi penerimaan pajak dari sektor UMKM yang belum tergali secara maksimal.

Namun berbeda halnya dengan Penjelasan Menteri Keuangan yang dikutip dari beberapa harian nasional dan media elektronik bahwa keputusan pemerintah mengenakan tarif 1 % terhadap UMKM bukanlah alasan penerimaan negara tetapi bermaksud meningkatkan status UMKM menjadi sektor formal sehingga lebih mudah memperoleh akses keuangan, permodalan maupun kredit perbankan. Padahal maksud MenKeu tersebut tidak tercermin dalam konsiderans (pertimbangan) terbitnya PP 46 tahun 2013.

Ditinjau dari konsep keadilan dalam pemajakan (equity principle) pengenaan PPh final tidak sesuai dengan keadilan karena tidak mencerminkan kemampuan membayar (ability to pay). Pemajakan yang adil adalah bahwa semakin besar penghasilan maka semakin besarpula pajak yang harus dibayar. Ini disebut dengan keadilan vertical atau vertical equity (Musgrave & Musgrave, 1976).

Dengan mengenakan PPh Final berdasarkan tariff 1 persen, UMKM yang berbentuk badan usaha tidak diuntungkan dan tidak dirugikan apabila persentase Penghasilan Kena Pajak terhadap peredaran bruto dapat mencapai 8 persen. Hal tersebut dapat dirumuskan dengan: 1 persen x peredaran bruto sebulan = 12,5 persen x 8 persen x peredaran bruto sebulan. Tarif 12,5 persen adalah merupakan tarif pasal 31 E dari UU PPh.

Penerapan PPh Final 1 persen terhadap UMKM yang mempunyai peredaran bruto tidak lebih dari Rp4,8 miliar setahun adalah tepat jika hanya dilihat  dari sisi  kemudahan dalam penghitungan pajak bagi kelompok perorangan dan badan usaha yang selama ini kesulitan menyelenggarakan pembukuan. Namun bagi UMKM  perorangan atau badan usaha yang selama ini telah menyelenggarakan pembukuan dengan tertib dan menghitung PPh dari penghasilan kena pajak yang senyatanya dari hasil pembukuan setelah dilakukan koreksi fiskal, ketentuan ini menjadi suatu kemunduran bagi mereka. Betapa tidak,  untuk kelompok ini, konsep self - assessment yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya jelas menjadi tidak bermakna. Kebijakan pengenaan PPh Final terhadap UMKM mundur dan tidak selaras dengan tujuan utama dari sistim self – assesment yaitu kepatuhan membayar pajak secara sukarela (voluntary compliance).

Oleh sebab itu penerapan yang bersifat presumptive tax harus dilakukan oleh pemerintah secara selektif dan hati-hati, sehingga penetapan tarif PPh Final  benar-benar mempertimbangkan tingkat keuntungan rata-rata UMKM dan  tidak menimbulkan perbedaan yang lebar antara yang dirugikan dan yang diuntungkan.

Sumber :

  1. 1.       Ruston Tambunan, Ak., M.Si., M.Int Citasco
  2. 2.       Majalah Bulanan UKM, ed. NO. 91 thn. IX Januari 2014